Kualitas layanan publik di Kota Depok terus menjadi sorotan mulai dari kemacetan menahun, minimnya sarana pendidikan dan kesehatan. Seperti yang disampaikan Aktifis Perempuan Anis Hidayah. “Seharusnya Kota Depok dalam pelayanan publik itu harus inklusif, accessible, non diskrimatif, ramah, dan berperspektif HAM seperi memperhatikan kaum difabel, ramah anak, ibu hamil dsb,”ujarnya seusai menjadi narasumber Webinar Gerakan Depok Berubah Ngobrol Politik tema: Akankah Terus Menjadi “Pengemis” Ketika Berhadapan Dengan Pelayanan Publik Di Depok ?, Sabtu (28/11).
Mantan birokrat di Kota Depok Drs. H. Sariyo Sabani, MM, mengungkap fakta kemacetan di Sawangan, Citayam, dan beberapa tempat lain yang sampai kini dibiarkan saja. “Menurut saya ini soal kelemahan visi dan inisiatif pemimpin,” ujarnya.
Sariyo mencontohkan soal pelebaran jalan di Sawangan seperti diketaui dengan alasan lebih membutuhkan ruas jalan baru. Namun, lanjutnya, pada bulan Maret 2016 Walikota Depok Mohammad Idris malah menolak pelebaran Jalan Raya Sawangan sepanjang 7 km. Padahal, waktu itu atas pengajuan Walikota sebelumnya kepada Pemda Jawa Barat, disetujui bantuan pemda Jabar. “Lha kalau dirasa kurang, mengapa tidak dibangun bertahap?” ujar Sariyo
Ketua DKR (Dewan Kesehatan Rakyat) Kota Depok Roy Pangharapan menyoroti bidang kesehatan di Depok. Ia mengaku biasa mengadvokasi pasien miskin kerap kali mendapatkan kesusahan dalam pelayanan kesehatan. Termasuk delapan ribu peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang kerap ditolak rumah sakit. Bagaimana nggak ditolak, lanjutnya, Depok dari dulu hanya punya satu RS tipe C dan 2 Puskesmas rawat inap.
“Meskipun ada Puskesmas 24 jam, faktanya kebutuhan tempat tidur RS Pemerintah dan Puskesmas sangat minim atau timpang dengan jumlah penduduk. Hal sangat aneh karena bertahun-tahun tidak menjadi perhatian Pemerintah Kota. Apa sih susahnya merenovasi dan menambah kapasitas tempat tidur pasien di Puskesmas?” usul Roy pada kandidat pemimpin terpilih nantinya untuk menambah puskesmas rawat inap dan berobat gratis cukup dengan KTP.
Menyorot soal isu pendidikan di Depok, para nasasumber webinar nampak sepakat menilai kelemahan pemkot mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk. Rasio daya tampung sekolah SD, SMP, SMK-SMA Negeri yang jomplang dan kekosongan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Negeri.
“Dari data yang didapat DKR, selama 15 tahun sejak 2005 penambahan SMP Negeri cuma 9. Sementara SMP swasta bertambah 173,”keluhnya.
Hal ini tentu disayangkan oleh Teguh Nugroho dari Ombusman RI yang kerap mendapat aduan masyarakat Depok. “Mengapa tak menggunakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) para pengembang perumahan kalau alasan pemkot tidak punya lahan?” tanya Teguh.