Wartadki.com|Jakarta Utara – Dalam sidang lanjutan perkara pidana terdakwa Tedja Widjaja saksi ahli bikin perkara pidana jadi ngambang yang didakwa melanggar pasal 378 jo pasal 372 KUHP, pada persidangan 20/3/2019 di PN Jakarta Utara,telah didengar ketetangan ahli yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa.
Saksi ahli pidana Suparji dari Universitas Al Azhar, Jakarta. Sekiranya ada suatu perjanjian- perjanjian yang menjuruskan pada permasalahan berrbau perkara perdata tidak tertutup kemungkinan terjadi kasus pidana.
Hal itu terjadi jika dalam perjalanan timbul permasalahan perbuatan penipuan dan penggelapan yang merugikan salah satu pihak.
“Permasalahan perdata itu bisa bertransformasi ke pidana, dalam awal-awal kesepakatan tersebut tidak menjamin suatu permasalahan tetap perdata. Kemungkinan ditengah tenggang waktu ditemukan rangkaian-rangkaian kebohongan, tipu daya dan ada pula niat jahat,” ujar saksi ahli pidana Suparji SH MH menjawab pertanyaan JPU Fedrik Adhar SH MH dalam sidang lanjutan kasus penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Tedja Widjaja di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Meski ada banyak perjanjian demi perjanjian dalam transaksi bisnis tersebut tetap saja permasalahan yang sebelumnya wanprestasi bisa menjadi penipuan dan penggelapan. Apalagi jika dilakukan balik nama padahal pembayaran belum tuntas dilakukan, atau baru sekali dua kali dilakukan pembayaran tetapi sudah terjadi peralihan hak.
Namun, kata ahli pidana tersebut, JPU harus betul-betul dapat membuktikan apa yang didakwakan terhadap terdakwa sehingga tindak pidana penipuan dan penggelapan yang telah merugikan korban itu benar-benar ada. Selain didukung alat bukti, tentunya juga saksi-saksi fakta. Artinya, tidak hanya keterangan saksi korban saja yang menjadi acuan JPU dalam mengajukan tuntutan terhadap terdakwa.
Ahli yang juga akademisi itu juga menyatakan walaupun terdapat begitu besar kerugian saksi korban dalam suatu transaksi bisnis, belum tentu hal itu suatu tindak pidana penipuan atau penggelapan. Tetap harus ada unsur kejahatannya serta niatnya.
“Kendati ada yang dirugikan atau diuntungkan begitu besar, hal tersebut baru bisa dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana penipuan dan penggelapan jika ada niat jahat serta unsur kesengajaan yang menguntungkan diri sendiri dengan rangkaian kata-kata bohong, bujuk rayu serta tipu daya,” tutur Suparji.
JPU Fedrik Adhar kemudian mencontohkan A menjalin kerja sama bisnis dengan B. Mereka lalu membuat perjanjian demi perjanjian. A kemudian mengagunkan dokumen barang yang dibeli dari si B padahal pembayaran belum lunas dilakukan. Bahkan untuk itu sengaja lagi dibuat pengakuan hutang. Apakah itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana, tanya JPU Fedrik Adhar. “Kalau balik nama tidak sepengetahuan B, dan B mengalami kerugian, serta terdapat tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam kasus tersebut, tentu permasalahan yang tadinya wanprestasi bisa menjadi kasus pidana. Tetapi tentu saja unsur-unsur pidananya itu harus dalam dibuktikan jaksa dalam persidangan dengan didukung alat bukti dan saksi-saksi fakta,” tutur ahli.
Persidangan kasus Tedja Widjaja yang disebutkan JPU Fedrik Adhar telah merugikan Yayasan Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UTA 45) sekitar Rp 67 miliar, berlangsung menarik. Seorang saksi a charge atau memberatkan dari JPU (Ayu) dalam persidangan mencabut sebagian besar BAP-nya. Dalam keterangan selanjutnya Ayu menguntungkan terdakwa Tedja Widjaja.
Melihat itu, JPU Fedrik Adhar meminta waktu kepada majelis hakim pimpinan Tugiyanto SH MH untuk diberikan kesempatan menghadirkan dua saksi fakta dan seorang ahli ke persidangan. Saksi fakta ini diharapkan dapat memperkuat surat dakwaannya terhadap Tedja Widjaja.
Ketua Majelis hakim Tugiyanto ,tidak sepenuhnya terlihat netral dimana dalam persidangan pada saat jaksa bertanya pada ahli ada kalanya di hentikan dengan ” kata stop” padahal JPU ingin menggali kebenaran material dari ahli. Sidang lanjutan akan mendengarkan dua saksi lagi. (Feri)